Minggu, 09 Desember 2012

OTM Pilokarpin HCl (bagian 1)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Sukur Alhamdulilah kita diberi kenimatan berupa panca indera penglihatan yang begitu sempurna. Allah SWT telah merancang suatu gerbang cakrawala untuk bisa melihat alam semesta dengan kedua mata yang telah diberikan-Nya. Sehinga sudah semestinya sebagai tanda terimakasih atas nikmat yang telah diberikan, kita harus menjaga kedua mata yang dianugrahkan ini.
Tetapi memang tidak mudah untuk menjaga mata, terlebih dalam masalah kesehatan. Karena diperjalanan hidup ini tidak mungkin seorang manusia tidak pernah mengalami sakit(mata). Baik sakit mata ringan seperti mata merah, iritasi, perih bahkan sampai yang ada menimbulkan kebutaan. Oleh karena itu diperlukan suatu obat untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu pengobatan yang bisa digunakan adalah tetes mata karena secara umum larutan berair lebih stabil daripada salep. Selain itu tidak menganggu penglihatan ketika digunakan.
Tetes mata juga mempuyai kemampuan lasung untuk bersentuhan dengan kornea mata. Sehingga sangat efektif digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi di bola mata.
Salah satu masalah mata yang ada di Indonesia saat ini adalah penyakit glukoma. Glaukoma adalah suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata relatif cukup besar untuk menyebabkan kerusakan pupil saraf optik dan menyebabkan kelainan lapang pandang. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 1993-1996 yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia didapatkan bahwa glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomer 2 sesudah katarak (prevalensi 0,16%). Katarak 1,02%, Glaukoma  0,16%, Refraksi 0,11% dan Retina 0,09%. Akibat dari kebutaan itu akan mempengaruhi kualitas hidup penderita terutama pada usia produktif, sehingga akan berpengaruh juga terhadap sumberdaya manusia pada umumnya dan khususnya Indonesia.
Berdasarkan beberapa alasan diatas, maka kami putuskan untuk membuat suatu formula tetes mata yang mempuyai kemampuan untuk mencegah dan mengatasi glukoma dengan bahan aktif pilokarpin. Pilokarpin adalah salah satu senyawa yang bisa digunakan untuk untuk penanganan glukoma karena memiliki efek miosis. Miosi adalah suatu kemampuan obat yang dapat menyebabkan kontraksi dari pupil mata. Dengan terbukanya pupil maka cairan dalam mata keluar sehingga menurunkan tegangan intraokular (dalam mata).
Oleh karena itu pengunaa formula obat tetes mata pilokarpin sangat pas untuk mengatasi glucoma. Dengan harapan akhir bisa menolong para masyarakat penderita glucoma yang saat ini kasusnya masih banyak terjadi.


1.1   Tujuan 
1.          Merancang suatu formula dan memperatekan pembuatan sediaan steril tetes mata. 
2.           Melakukan evaluasi sediaan obat tetes mata.

1.2   Manfaat
      1.       Bisa memacu semangat untuk terus berkreasi dalam mengembangkan sediaan.
      2.       Menumbuhkan rasa percaya diri, dan mampu membuat keunikan dalam formulasi yang dapat diterima
            oleh pasar.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Difenisi
Obat tetes mata atau Guttae Opthalmicae adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata di sekitar kelopak  mata dan bola mata. (FI III, hal 10).
2.2 Keuntungan dan Kerugian
·         Keuntungan
Secara umum larutan berair lebih stabil daripada salep, meskipun salep dengan obat yang larut dalam lemak diabsorpsi lebih baik dari larutan/salep yang obat-obatnya larut dalam air. Selain itu tidak menganggu penglihatan ketika digunakan (AMA Drugs : 1624)
·         Kerugian
Kerugian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif singkat antara obat dan permukaan yang terabsorsi. (RPS 18 th : 1585)

2.3 Persyaratan
Persayaratan obat tetes mata harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1.  Steril  
Farmakope moderenmensyaratkan sterilitas kuman bagi optimika (angka kuman harus = 0). Pembuatan tetes mata pada dasarnya dilakukan pada kondisi kerja aseptik.
2.      Kerjenihan
Persyaratan larutan bebas partikel bertujuan menghindari ransangan akibat adanya bahan padat. Fitrasi dengan kertas saring atau kain wol tidak dapat menghasilkan larutan bebas partikel melayang. Oleh karena itu , sebagai material penyaring kita mengunakan leburan gelas. Misalnya, jeanaer fritten berkuran poro G3-G5.
3.      Pengawetan (antimicrobial preservative)
Bahan pengawet yang digunakan adalah thiomersal 0,002% fenilmuerkuri 0,002%, garam alkonium dan garam banzalkonium 0,002%-0,001% dalam kombinasinya dengan natrium edetat 0,01%, lalu yang lainya adalah klorheksidain 0,005-0,01%, klorbutanol 0,5% dan benzillalalkohol 0,5%-1%.

Tabel 2.1 Obat tetes mata menggunakan antimicrobial preservative


Benzalkonium cholida 0,01%
Chlorhexidine acetat 0,01%
Phenylmercuric nitrate 0,002%
Atrapon sulfat
Gorbechol
Gycolopentolate
Homatropine
Hyoscine
Hypromellose
Phenylephrine
Physostigmine
Pilocarpine
Prednisolone
Cocaine
Cocain dan homatropine
Tetracaine
Ghloramphenicol
Fluorescein
Hydrocortisone dan neomycin
Lochesine
Neomicin
Sulfacetaminde
Zinc sulphate
Zinc sulfat dan adrenalin
Epineprin
4.      Tonissitas
Karena kandungan elektrolit dan koloid di dalamnya, cairan air mata memiliki tekanan osmotik, yang nilainya sama dengan darah cairan jaringan.besarnya adalah 0,065-0,8 M pa (6,5-8 atmosfir), penurunan titik bekunya terhadap air 0,520K atau kosentrasinya sesuai dengan larutan natrium klorida 0,9% dalam air. Larutan hipertonis relatif lebih dapat diterima daripada hipotonis. Larutan yang digunakan pada mata luka atau yang telah dioprasi mengunakan larutan isotonis. Pada larutan yang mengandung perak, kita memakai garam nitrat 1,2-1,6%.
5.      Stabilitas (Pendapar, Vikositas, dan Aktivitas`Permukaan)
a.       Pendapar
Harga pH mata sama dengan darah, yaitu 7,4. Pada pemakaian tetesan bias, larutan yang nyaris tanpa rasa nyeri adalah larutan dengan pH 7,3-9,7. Namun, ph 5,5-11,4 masih dapat diterima. Pengaturan ph sangat berguna untuk mencapai rasa bebas nyeri, meskipun kita sangat sulit merealisasikanya.
Misal: gara alkaloid yang umunya dipakai sebagai tetes mata memiliki stablitas maksimal pada ph 2-4 yang jelas sangat tidak fisiologis. Dengan demikian, kita perlu menaikan pH-nya untuk menunjukkan peningkatan keseimbangan fisiologis, larutan dibangan dilakkan dengan larutan isotonis.
Larutan dapar berikut digunakan secara internasionak:
·       Dapar natrium asetat-Asam borat, kapasitasnya tinggi di daerah asam.
·         Dapar pospha, kapasitanya tinggi di daerah alkalis
Jika harga ph yang ditetapkan atas dasar stabilitas berada di luar daerah yang dapat diterima secara fisiologis, maka kita wajib menambahkan larutan dapar dan melakukan pengaturan pH melalui penambahan asam atau basah.
b.      Vikositas dan aktivitas permukaan
Tetes mata dalam air mempuyai kekurangan karena dapat ditekan keluar dari saluran konjungtiva oleh gerakan pelupuk mata. Namun, melalui peningkatan vikositas tetes mata dapat mencapai distribusi bahan aktif yang lebih baik dalam cairan dan waktu kontak yang lebih panjang. Sebagai peningkatan vikositas, kita memakai metilselulosa dan polivinilpolidon (PVP) dan dan sangat disarankan menggunakan polivinilpolidon (PVP) 1-2%. Vikositas sebaiknya tidak melampaui 49-50 mpa detik (40- 50 cP) sebab jika tidak, maka akan terjadi penyumbatan saluran air mata. Kita memakai larutan dengan harga vikositas 5-15 mPa detik (5-15 cp). Apabila zat pada sulit larut, maka kita dapat menambahkan khorida atau benzalkonium bromida.
2.4 Sterilisasi
Sterilisasi yaitu suatu proses atau kegiatan membebaskan bahan atau benda dari semua bentuk kehidupan. Sterilisasi juga dapat diartikan sebagai proses untuk membunuh semua jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak ada lagi jasad renik yang dapat berkembang.
Pada prinsipnya sterilisasi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu secara mekanik, fisik dan kimiawi. Sterilisasi mekanik dilakukan secara filtrasi, sterilisasi fisik dilakukan dengan pemanasan dan penyinaran, dan untuk sterilisasi kimiawi dapat dilakukan menggunakan senyawa disinfektan.
1.      Sterilisasi Mekanik
Sterilisasi mekanik, biasa dilakukan dengan filtrasi. Filtrasi disini menggunakan suatu saringan yang berpori kecil  sehingga mikroba dapat tertahan pada saringan tersebut. Ukuran nominal pori penyaring 0,2 μm atau kurang dan penyaring dibuat dari berbagai jenis bahan seperti selulosa asetat, selulosa nitrat, florokarbonat, polimer akrilik, polikarbonat, poliester, polivinil klorida, vinil, nilon, politef, dan berbagai tipe bahan lain termasuk memban logam.
2.      Sterilisasi Fisik
Pada sterilisasi fisik dapat dilakukan dengan 2 sistem, yaitu system pemanasan dan penyinaran. System pemanasan sendiri terdiri dari 4 macam, yaitu:
a.       Pemijaran (dengan api langsung)
Membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum inokulum, pinset, batang L, dll.
b.      Panas kering
Sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800C. Sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya erlenmeyer, tabung reaksi dll.
Prosedur Sterilisasi Panas Kering dengan Oven adalah sebagai berikut:
1) Membuka tutup oven dan masukkan peralatan dari gelas yang sudah dibungkus ke dalam oven.
2) Menutup oven dan mengatur pengontrol suhu pada angka 160-180°C selama 1-2 jam.
c.       Uap air panas
Konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang mengandung air lebih tepat menggungakan metode ini supaya tidak terjadi dehidrasi.

d.      Sterilisasi panas dengan Tekanan atau Sterilisasi Uap (Autoklaf)
Pada saat melakukan sterilisasi uap, kita sebenarnya memaparkan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan pembunuhan mikroganisme secara ireversibel akibat denaturasi atau koagulasi sel.
Sterilisasi demikian merupakan metode yang paling efektif dan ideal karena:
1.      Uap merupakan pembawa (carrier) energi termal paling efektif dan semua lapisan pelindung luar mikroganisme dapat dilunakan, sehingga terjadinya koagulasi.
2.      Bersifat notoksik, mudah diperoleh, dan relatif mudah dikontrol.
Suhu jenuh uap air (1000C) pada tekanan 1 atmosfir teryata masih kurang dalam membunuh kuman yang resisten. Oleh karena itu, kita harus mengupayakan agar suhu jenuh uap ditingkatkan dengan cara meningkatkan tekanannya. Kemudian, kita dapat melakukannya dalam wadah tertutup rapat agar dapat tercapai suhu sterilisasi, yaitu 1210C atau lebih. Uap jenuh tidak dapat berkurang suhunya tanpa menurunkan tekanannya dan sebaliknya. Dengan demikian, apabila salah satu parameter yang lain pasti diketahui pula. Pada praktinya, saat uap memasuki chamber mesin sterilisasi, kondisi uap harus dalam keadaan baik.
Sterilisasi demikian bisa digunakan untuk mensterilisasikan:
Sedian injeksi dan suspensi     : 1210C 15 menit
Baju operasi                            : 1340C 3 menit
Plastik dan karet                     : disterilkan terpisah dari kontainer
Faktor-faktor yang mempengaruhi sterilisasi uap adalah:
a.       Waktu
Apabila mikroorganisme dalam jumlah besar dipaparkan terhadap uap jenuh pada suhu yang konstan, maka semua mikroorganisme tidak akan terbenuh pada saat bersamaan. Jumlah mikroganisme yang bertahan hidup dapat diplot terhadap waktu pemaparan dan akan menghasilkan kurva survivor (survivor curve). Terminilogi D-value digunakan untuk mendeskripsikan waktu yang diperlukan untuk membunuh 90% mikroorganisme yang ada. Setiap mikroorganisme akan mempuyai D-value yang berbeda dan tentunya D-value akan bergantung pada suhu.
Pengujian daya bunuh mesin sterilisasi biasa menggunakan bacillus stearothermophilus karena jenis mikroganisme ini paling resisten terhadap proses 6 nilai D-value untuk bacillus stearothermophillus sudah menjamin keamanan proses sterilisasi uap. Pada D-value pertama, jumlah mikroganisme yang terbunuh adalah 905, pada nilai D-value kedua jumlah mikroganisme yang terbunuh menjadi 99,95, dan seterusnya hingga pada nilai D-value keenam jumlah mikroganisme yang terbunuh menjadi 99,9999%.
b.      Suhu
Peningkatan suhu akan menurunkan waktu proses sterilisasi secara dramatis. Sebagai gambaran , waktu yang diperlukan untuk membunuh satu juta B.stearothermophillus pada suhu 115,60C adalah 42,6 menit, tetapi dengan menaikan suhu sampai 140,60C waktu yang dibutuhkan hanya 8 detik. Namun, hal ini tentu terjadi pada kondisi uap jenuh, sedangkan pada kondisi uap tidak jenuh mikroorganisme mungkin tidak akan terbunuh secara sempurna, walaupun suhu sterilisasi dinaikan.
Hubungan antara waktu dan suhu dalam proses sterilisasi menurut rumus sebagai berikut:
F = t1
c.       Kelembapan
Efek penambahan daya bunuh pada sterilisasi uap disebabkan kelembaban akan menurunkan suhu yang diperlukan agar terjadidenaturasi dan koagulasi protein. Di lain pihak, pada sistem panas kering mikroorganisme akan terhidrasi terlebih dahulu baru kemudian suhu akan naik agar terjadi denaturasi protein seluler. Adanya cairan dalam uap mengindikasikan istilah kualitas uap. Untuk proses sterilisasi uap berada 97%, maka dianggap uap tidak jenuh, sehingga daya bunuh mikroorganisme akan kurang.
3.    Sterilisasi Kimia
Sterilisasi secara kimiawi biasanya menggunakan senyawa disinfektan. Senyawa disinfektan yang biasa digunakan yaitu alcohol. Salah satu kegunaan dari alcohol ini adalah untuk sterlisasi area tempat kerja, adapun proses penggunaannya adalah sebagai berikut:
1)      Memasukkan larutan alkohol dengan kadar 70% ke dalam botol semprot.
Sterilisasi dengan bahan kimia digunakan alkohol 70 %. Menurut Gupte (1990), etil alkohol sangan efektif pada kadar 70 % daripada 100 % dan ini tidak membunuh spora. Sterilisasi dengan alkohol dilakukan pada proses pembuatan kultur stok dan teknik isolasi. Alkohol 70 % disemprotkan pada tangan praktikan dan alat-alat seperti makropipet dan mikropipet. Menurut Volk dan Wheeler (1988), alkohol bila digunakan pada kulit kontaknya terlalu pendek untuk menimbulkan banyak efek germisida dan alkohol segera menguap karena sifatnya mudah menguap. Namun alkohol dapat menyingkirkan minyak, partikel debu, dan bakteri. Menurut Gupte (1990), alkohol 70 % dapat menyebabkan denaturasi protein dan koagulaasi.
2)      Menyemprot udara di sekitar area kerja dengan alkohol tersebut.
3)    Menyemprot meja kerja dengan alkohol dan ratakan dengan kertas tissue.
4)      Menyemprot juga tangan kita agar steril.
5)      Meletakkan alat-alat yang akan digunakan pada meja kerja.
2.5 Perhitungan
Perhitungan yang di maksud disini adalah tonisitas dan kapasitas dapar karena dalam suatu larutan tetes mata tidak akan lepas dari perhitungan ini.
2.5.1 . Tonisitas
a. metode turunab titik beku
Turunya titik beku serum darah atau cairan lakrimal sebesar-0,520C yang setaradengan 0,9% NaCl. Makin besar kosentrasi zat terlarut makin besar turunya titik beku.
METODE I (BPC)           :          
W = Jumlah (g) bahan pembantu isotoni dalam 100 ml larutan
A = Turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan
       memperbanyak nilai untuk larutan 1% b/v
b = Turunya titik beku air yang dihasilkanoleh 1% b/v bahan pembantu isotoni jika kosentrasi tidak dinyatakan, a=0  (titik ditambahkan pengisotonis)
METODE II                        :            
        Keterangan :
Tb = turunya titik beku larutan terhadap pelarut murninya
K = turunya titik beku pelarut dalam MOLAR (konstanta Kryoskopik air = 1,86 yang menunjukan turunya titik beku 1 mol zat terlarut dalam 1000 g cairan)
m = zat yang ditimbang (g)
n = jumlah ion
M = berta molekul zat terlarut
L = massa pelarut (g)

b. ekivelensi NaCl
Didefinisikan sebagai suatu faktor yang dikonversikan terhadap sejumlah tertentu zat terlarut terhadap jumlah NaCl yang memberikan efek osmotik yang sama. Misalnya ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berati 1 g asam borat di dalam larutan memberikan jumlah partikel yang sama dengan 0,55g NaCl.
METODE WELLS:        
Keterrangan :
L = turunnya titik beku MOLOL
I = turunnya titik beku akibat zat terlarut (0C)
C = kosentrasi molal zat terlarut
Oleh karena itu zat aktif dengan tipe ionik yang sama dapat menyebabkan turunya titik beku molal yang sama besar, maka Wells mengatsinya dengan menggolongkan zat-zat tersebut menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah ion yang dihasilkan. Lihat tabel III di repetitorium teknologi sediaan steril, hal. 15.
c. metode Liso                     (Dikta Kuliah Steril, 166)
Rumus               Tf = Lisox
d.      Metode White –Vincent (Diklat kuliah steril hal, 167)
Tonisitas yang diinginkan ditentukan dengan penambahan air pada sediaan parenteral agar isotonis. Rumus yang dipakai :
V = w x E x 111,1
Dengan V = ekivelensi naCl
w = berat dalam garam
E = ekivalensi NaCl
Contoh
R/                Phenacaine hidroklorida   0,006 gr
               Asam borat                          0,30 gr
               Aqua bidestilata steril ad  100 ml
Maka : v = ((0,06 x 0,20) + (0.3 x 0,050)) x 111,1 ml = 18 ml
Jadi obat dicampur dengan air sampai 18 ml. Lalu tambah pelarut isotonis sampai 100 ml.
e.       Metode Sprowls (Dikta kuliah steril)
Menurut modifikasi dari metode White dan vincet, dimana  w dibuat tetap 0,3 gram, jadi V = E x 33,33 ml
2.5.2 Kapasitas dapar
Kapasitas dapar adalah kemampuan tidak berubahnya pH dengan penambahan sedikit asam atau sedikit basah.
Rumus :  β =  = 2,303 C
Β = kapasitas dapar
αB = perubahan kosentrasi asam atau basah
αpH = perubahan ph
C = kosentrasi molar larutan dapar
Ka = konstanta disosiasi larutan dapar
Kapasitas dapar dapat dihitung dengan pesamaan Henderson-hasselbach
2.6 Glukoma
Glaukoma adalah penyakit pada saraf utama mata, yang disebut saraf optik. Saraf optik menerima impuls saraf dari retina dan memancarkannya ke otak, di mana kita mengubah sinyal-sinyal listrik itu sebagai gambar. Glaukoma ditandai oleh kerusakan progresif pada saraf optik yang umumnya dimulai dengan kehilangan penglihatan samping halus (peripheral vision). Jika glaukoma tidak didiagnosis dan diobati maka dapat berkembang menjadi kehilangan penglihatan sentral dan kebutaan.
Glaukoma tetapi tidak selalu, berhubungan dengan tekanan tinggi di mata (tekanan intraokuler). Secara umum, tekanan mata tinggi ini mengarah ke kerusakan saraf mata (saraf optik). Dalam beberapa kasus, glaukoma dapat terjadi pada tekanan mata normal namun ada gangguan pengaturan aliran darah ke saraf optik.
Belum ada obat untuk glaukoma. Namun, obat atau operasi dapat memperlambat atau mencegah perkembangan kehilangan penglihatan. Pengobatan yang tepat tergantung pada jenis glaukoma dan faktor-faktor lainnya. Deteksi dini sangat penting untuk menghentikan perkembangan penyakit ini.
( http://kamuskesehatan.com/arti/glaukoma/)
2.7 Patofisiologi Glukoma
Peningkatan tekanan di dalam mata (intraocular pressure) adalah salah satu penyebabterjadinya kerusakan saraf mata (nervus opticus) dan menunjukkan adanya gangguan dengancairan di dalam mata yang terlalu berlebih. Ini bisa disebabkan oleh mata yang memproduksicairan terlalu berlebih, cairan tidak mengalir sebagaimana mestinya melalui fasilitas yang adauntuk keluar dari mata (jaringan trabecular meshwork) atau sudut yang terbentuk antarakornea dan iris dangkal atau tertutup sehingga menyumbat/ memblok pengaliran dari pada cairan mata.
Gambar patofisiologi glukoma