BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sukur Alhamdulilah kita diberi kenimatan berupa panca indera penglihatan
yang begitu sempurna. Allah SWT telah merancang suatu gerbang cakrawala untuk
bisa melihat alam semesta dengan kedua mata yang telah diberikan-Nya. Sehinga sudah
semestinya sebagai tanda terimakasih atas nikmat yang telah diberikan, kita
harus menjaga kedua mata yang dianugrahkan ini.
Tetapi memang tidak mudah untuk menjaga mata,
terlebih dalam masalah kesehatan. Karena
diperjalanan hidup ini tidak mungkin seorang manusia tidak pernah mengalami
sakit(mata). Baik sakit mata ringan seperti mata merah, iritasi, perih bahkan
sampai yang ada menimbulkan kebutaan. Oleh karena itu diperlukan suatu obat
untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Salah satu pengobatan yang bisa
digunakan adalah tetes mata karena secara
umum larutan berair lebih stabil daripada salep.
Selain itu tidak menganggu penglihatan ketika digunakan.
Tetes mata juga mempuyai kemampuan lasung untuk bersentuhan dengan kornea
mata. Sehingga sangat efektif digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang
terjadi di bola mata.
Salah satu masalah mata yang ada di Indonesia saat ini adalah penyakit glukoma.
Glaukoma adalah suatu keadaan tekanan intraokuler/tekanan dalam bola mata
relatif cukup besar untuk menyebabkan kerusakan pupil saraf optik dan menyebabkan kelainan
lapang pandang. Berdasarkan Survei Kesehatan Indera Penglihatan tahun 1993-1996
yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia didapatkan bahwa
glaukoma merupakan penyebab kebutaan nomer 2 sesudah katarak (prevalensi
0,16%). Katarak 1,02%, Glaukoma 0,16%, Refraksi 0,11% dan Retina 0,09%.
Akibat dari kebutaan itu akan mempengaruhi kualitas hidup penderita terutama
pada usia produktif, sehingga akan berpengaruh juga terhadap sumberdaya manusia
pada umumnya dan khususnya Indonesia.
Berdasarkan beberapa alasan diatas, maka kami
putuskan untuk membuat suatu formula tetes mata yang mempuyai kemampuan untuk
mencegah dan mengatasi glukoma dengan bahan aktif pilokarpin. Pilokarpin adalah
salah satu senyawa yang bisa digunakan untuk untuk penanganan glukoma karena
memiliki efek miosis. Miosi adalah suatu kemampuan obat yang dapat menyebabkan
kontraksi dari pupil mata. Dengan terbukanya pupil maka cairan dalam mata
keluar sehingga menurunkan tegangan intraokular (dalam
mata).
Oleh karena itu pengunaa formula obat tetes mata pilokarpin sangat pas
untuk mengatasi glucoma. Dengan harapan akhir bisa menolong para masyarakat
penderita glucoma yang saat ini kasusnya masih banyak terjadi.
1.1
Tujuan
1. Merancang suatu formula dan memperatekan pembuatan sediaan steril tetes mata.
2. Melakukan evaluasi sediaan obat tetes mata.
1. Merancang suatu formula dan memperatekan pembuatan sediaan steril tetes mata.
2. Melakukan evaluasi sediaan obat tetes mata.
1.2
Manfaat
1. Bisa memacu
semangat untuk terus berkreasi dalam mengembangkan sediaan.
2. Menumbuhkan rasa percaya diri, dan mampu membuat keunikan
dalam formulasi yang dapat diterima
oleh pasar.
oleh pasar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Difenisi
Obat tetes mata atau
Guttae Opthalmicae adalah sediaan steril berupa larutan atau suspensi, digunakan untuk mata dengan cara meneteskan obat pada selaput lendir mata di sekitar kelopak
mata dan bola mata. (FI III, hal 10).
2.2 Keuntungan
dan Kerugian
·
Keuntungan
Secara umum larutan berair lebih stabil
daripada salep, meskipun salep dengan obat
yang larut dalam lemak diabsorpsi lebih baik dari larutan/salep yang obat-obatnya
larut dalam air. Selain itu tidak menganggu penglihatan ketika digunakan (AMA Drugs
: 1624)
·
Kerugian
Kerugian yang prinsipil dari larutan mata adalah waktu kontak yang relatif
singkat antara obat dan permukaan yang terabsorsi. (RPS 18 th : 1585)
2.3 Persyaratan
Persayaratan obat tetes mata harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1.
Steril
Farmakope moderenmensyaratkan sterilitas kuman bagi optimika (angka kuman harus = 0).
Pembuatan tetes mata pada dasarnya dilakukan pada kondisi kerja aseptik.
2.
Kerjenihan
Persyaratan larutan bebas
partikel bertujuan menghindari ransangan akibat adanya bahan padat. Fitrasi
dengan kertas saring atau kain wol tidak dapat menghasilkan larutan bebas
partikel melayang. Oleh karena itu , sebagai material penyaring kita mengunakan leburan gelas. Misalnya, jeanaer fritten
berkuran poro G3-G5.
3.
Pengawetan
(antimicrobial preservative)
Bahan
pengawet yang digunakan adalah thiomersal 0,002% fenilmuerkuri 0,002%, garam
alkonium dan garam banzalkonium 0,002%-0,001% dalam kombinasinya dengan natrium
edetat 0,01%, lalu yang lainya adalah klorheksidain 0,005-0,01%, klorbutanol
0,5% dan benzillalalkohol 0,5%-1%.
Tabel
2.1 Obat tetes mata menggunakan antimicrobial preservative
Benzalkonium cholida 0,01%
|
Chlorhexidine acetat 0,01%
|
Phenylmercuric nitrate 0,002%
|
Atrapon sulfat
Gorbechol
Gycolopentolate
Homatropine
Hyoscine
Hypromellose
Phenylephrine
Physostigmine
Pilocarpine
Prednisolone
|
Cocaine
Cocain dan homatropine
|
Tetracaine
Ghloramphenicol
Fluorescein
Hydrocortisone dan neomycin
Lochesine
Neomicin
Sulfacetaminde
Zinc sulphate
Zinc sulfat dan adrenalin
Epineprin
|
4.
Tonissitas
Karena
kandungan elektrolit dan koloid di dalamnya, cairan air mata memiliki tekanan
osmotik, yang nilainya sama dengan darah cairan jaringan.besarnya adalah
0,065-0,8 M pa (6,5-8 atmosfir), penurunan titik bekunya terhadap air 0,520K
atau kosentrasinya sesuai dengan larutan natrium klorida 0,9% dalam air.
Larutan hipertonis relatif lebih dapat diterima daripada hipotonis. Larutan
yang digunakan pada mata luka atau yang telah dioprasi mengunakan larutan
isotonis. Pada larutan yang mengandung perak, kita memakai garam nitrat
1,2-1,6%.
5.
Stabilitas
(Pendapar, Vikositas, dan Aktivitas`Permukaan)
a.
Pendapar
Harga
pH mata sama dengan darah, yaitu 7,4. Pada pemakaian tetesan bias, larutan yang
nyaris tanpa rasa nyeri adalah larutan dengan pH 7,3-9,7. Namun, ph 5,5-11,4
masih dapat diterima. Pengaturan ph sangat berguna untuk mencapai rasa bebas
nyeri, meskipun kita sangat sulit merealisasikanya.
Misal:
gara alkaloid yang umunya dipakai sebagai tetes mata memiliki stablitas
maksimal pada ph 2-4 yang jelas sangat tidak fisiologis. Dengan demikian, kita
perlu menaikan pH-nya untuk menunjukkan peningkatan keseimbangan fisiologis,
larutan dibangan dilakkan dengan larutan isotonis.
Larutan
dapar berikut digunakan secara internasionak:
· Dapar natrium
asetat-Asam borat, kapasitasnya tinggi di daerah asam.
·
Dapar pospha,
kapasitanya tinggi di daerah alkalis
Jika
harga ph yang ditetapkan atas dasar stabilitas berada di luar daerah yang dapat
diterima secara fisiologis, maka kita wajib menambahkan larutan dapar dan
melakukan pengaturan pH melalui penambahan asam atau basah.
b.
Vikositas dan
aktivitas permukaan
Tetes mata
dalam air mempuyai kekurangan karena dapat ditekan keluar dari saluran
konjungtiva oleh gerakan pelupuk mata. Namun, melalui peningkatan vikositas
tetes mata dapat mencapai distribusi bahan aktif yang lebih baik dalam cairan
dan waktu kontak yang lebih panjang. Sebagai peningkatan vikositas, kita
memakai metilselulosa dan polivinilpolidon (PVP) dan dan sangat disarankan
menggunakan polivinilpolidon (PVP) 1-2%. Vikositas sebaiknya tidak melampaui
49-50 mpa detik (40- 50 cP) sebab jika tidak, maka akan terjadi penyumbatan
saluran air mata. Kita memakai larutan dengan harga vikositas 5-15 mPa detik
(5-15 cp). Apabila zat pada sulit larut, maka kita dapat menambahkan khorida
atau benzalkonium bromida.
2.4 Sterilisasi
Sterilisasi yaitu
suatu proses atau kegiatan membebaskan bahan atau benda dari semua bentuk
kehidupan. Sterilisasi juga dapat diartikan sebagai proses untuk membunuh semua
jasad renik yang ada, sehingga jika ditumbuhkan di dalam suatu medium tidak ada
lagi jasad renik yang dapat berkembang.
Pada prinsipnya
sterilisasi dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu secara mekanik, fisik dan kimiawi. Sterilisasi mekanik dilakukan secara filtrasi, sterilisasi fisik
dilakukan dengan pemanasan dan penyinaran, dan untuk sterilisasi kimiawi dapat
dilakukan menggunakan senyawa disinfektan.
1.
Sterilisasi
Mekanik
Sterilisasi mekanik,
biasa dilakukan dengan filtrasi. Filtrasi disini menggunakan suatu saringan
yang berpori kecil sehingga mikroba dapat
tertahan pada saringan tersebut. Ukuran nominal pori penyaring 0,2 μm atau
kurang dan penyaring dibuat dari berbagai jenis bahan seperti selulosa asetat,
selulosa nitrat, florokarbonat, polimer akrilik, polikarbonat, poliester,
polivinil klorida, vinil, nilon, politef, dan berbagai tipe bahan lain termasuk
memban logam.
2. Sterilisasi
Fisik
Pada sterilisasi
fisik dapat dilakukan dengan 2 sistem, yaitu system pemanasan dan penyinaran.
System pemanasan sendiri terdiri dari 4 macam, yaitu:
a. Pemijaran (dengan api langsung)
Membakar alat pada api secara langsung, contoh alat : jarum inokulum,
pinset, batang L, dll.
b. Panas kering
Sterilisasi dengan oven kira-kira 60-1800C.
Sterilisasi panas kering cocok untuk alat yang terbuat dari kaca misalnya erlenmeyer,
tabung reaksi dll.
Prosedur Sterilisasi Panas Kering dengan Oven
adalah sebagai berikut:
1) Membuka tutup oven dan masukkan
peralatan dari gelas yang sudah dibungkus ke dalam oven.
2) Menutup oven dan mengatur
pengontrol suhu pada angka 160-180°C selama 1-2 jam.
c.
Uap air panas
Konsep ini mirip dengan mengukus. Bahan yang
mengandung air lebih tepat menggungakan metode ini supaya tidak terjadi
dehidrasi.
d.
Sterilisasi panas dengan Tekanan atau Sterilisasi Uap (Autoklaf)
Pada saat melakukan sterilisasi uap, kita sebenarnya
memaparkan uap jenuh pada tekanan tertentu selama waktu dan suhu tertentu pada
suatu objek, sehingga terjadi pelepasan energi laten uap yang mengakibatkan
pembunuhan mikroganisme secara ireversibel akibat denaturasi atau koagulasi
sel.
Sterilisasi demikian merupakan metode yang paling efektif
dan ideal karena:
1.
Uap merupakan
pembawa (carrier) energi termal paling efektif dan semua lapisan pelindung luar
mikroganisme dapat dilunakan, sehingga terjadinya koagulasi.
2.
Bersifat notoksik,
mudah diperoleh, dan relatif mudah dikontrol.
Suhu jenuh uap air (1000C) pada tekanan 1
atmosfir teryata masih kurang dalam membunuh kuman yang resisten. Oleh karena
itu, kita harus mengupayakan agar suhu jenuh uap ditingkatkan dengan cara
meningkatkan tekanannya. Kemudian, kita dapat melakukannya dalam wadah tertutup
rapat agar dapat tercapai suhu sterilisasi, yaitu 1210C atau lebih.
Uap jenuh tidak dapat berkurang suhunya tanpa menurunkan tekanannya dan
sebaliknya. Dengan demikian, apabila salah satu parameter yang lain pasti
diketahui pula. Pada praktinya, saat uap memasuki chamber mesin sterilisasi,
kondisi uap harus dalam keadaan baik.
Sterilisasi demikian bisa digunakan untuk
mensterilisasikan:
Sedian injeksi dan suspensi : 1210C 15 menit
Baju operasi :
1340C 3 menit
Plastik dan karet :
disterilkan terpisah dari kontainer
Faktor-faktor yang mempengaruhi sterilisasi uap adalah:
a.
Waktu
Apabila
mikroorganisme dalam jumlah besar dipaparkan terhadap uap jenuh pada suhu yang
konstan, maka semua mikroorganisme tidak akan terbenuh pada saat bersamaan.
Jumlah mikroganisme yang bertahan hidup dapat diplot terhadap waktu pemaparan
dan akan menghasilkan kurva survivor (survivor curve). Terminilogi D-value
digunakan untuk mendeskripsikan waktu yang diperlukan untuk membunuh 90%
mikroorganisme yang ada. Setiap mikroorganisme akan mempuyai D-value yang
berbeda dan tentunya D-value akan bergantung pada suhu.
Pengujian
daya bunuh mesin sterilisasi biasa menggunakan bacillus stearothermophilus
karena jenis mikroganisme ini paling resisten terhadap proses 6 nilai D-value
untuk bacillus stearothermophillus sudah menjamin keamanan proses sterilisasi
uap. Pada D-value pertama, jumlah mikroganisme yang terbunuh adalah 905, pada
nilai D-value kedua jumlah mikroganisme yang terbunuh menjadi 99,95, dan
seterusnya hingga pada nilai D-value keenam jumlah mikroganisme yang terbunuh
menjadi 99,9999%.
b.
Suhu
Peningkatan
suhu akan menurunkan waktu proses sterilisasi secara dramatis. Sebagai gambaran
, waktu yang diperlukan untuk membunuh satu juta B.stearothermophillus pada suhu 115,60C adalah 42,6
menit, tetapi dengan menaikan suhu sampai 140,60C waktu yang dibutuhkan
hanya 8 detik. Namun, hal ini tentu terjadi pada kondisi uap jenuh, sedangkan
pada kondisi uap tidak jenuh mikroorganisme mungkin tidak akan terbunuh secara
sempurna, walaupun suhu sterilisasi dinaikan.
Hubungan
antara waktu dan suhu dalam proses sterilisasi menurut rumus sebagai berikut:
F
= t1
c.
Kelembapan
Efek
penambahan daya bunuh pada sterilisasi uap disebabkan kelembaban akan
menurunkan suhu yang diperlukan agar terjadidenaturasi dan koagulasi protein.
Di lain pihak, pada sistem panas kering mikroorganisme akan terhidrasi terlebih
dahulu baru kemudian suhu akan naik agar terjadi denaturasi protein seluler.
Adanya cairan dalam uap mengindikasikan istilah kualitas uap. Untuk proses
sterilisasi uap berada 97%, maka dianggap uap tidak jenuh, sehingga daya bunuh
mikroorganisme akan kurang.
3.
Sterilisasi Kimia
Sterilisasi secara kimiawi
biasanya menggunakan senyawa disinfektan. Senyawa disinfektan yang biasa
digunakan yaitu alcohol. Salah satu kegunaan dari alcohol ini adalah untuk sterlisasi
area tempat kerja, adapun proses penggunaannya adalah sebagai berikut:
1) Memasukkan
larutan alkohol dengan kadar 70% ke dalam botol semprot.
Sterilisasi dengan bahan kimia digunakan alkohol 70
%. Menurut Gupte (1990), etil alkohol sangan efektif pada kadar 70 % daripada
100 % dan ini tidak membunuh spora. Sterilisasi dengan alkohol dilakukan pada
proses pembuatan kultur stok dan teknik isolasi. Alkohol 70 % disemprotkan pada
tangan praktikan dan alat-alat seperti makropipet dan mikropipet. Menurut Volk
dan Wheeler (1988), alkohol bila digunakan pada kulit kontaknya terlalu pendek
untuk menimbulkan banyak efek germisida dan alkohol segera menguap karena
sifatnya mudah menguap. Namun alkohol dapat menyingkirkan minyak, partikel
debu, dan bakteri. Menurut Gupte (1990), alkohol 70 % dapat menyebabkan
denaturasi protein dan koagulaasi.
2) Menyemprot
udara di sekitar area kerja dengan alkohol tersebut.
3) Menyemprot meja
kerja dengan alkohol dan ratakan dengan kertas tissue.
4) Menyemprot juga
tangan kita agar steril.
5) Meletakkan
alat-alat yang akan digunakan pada meja kerja.
2.5 Perhitungan
Perhitungan yang di maksud
disini adalah tonisitas dan kapasitas dapar karena dalam suatu larutan tetes
mata tidak akan lepas dari perhitungan ini.
2.5.1 . Tonisitas
a. metode turunab titik beku
Turunya titik beku serum darah atau cairan lakrimal sebesar-0,520C
yang setaradengan 0,9% NaCl. Makin besar kosentrasi zat terlarut makin besar
turunya titik beku.
METODE I
(BPC) :
W
= Jumlah (g) bahan pembantu isotoni dalam 100 ml larutan
A
= Turunnya titik beku air akibat zat terlarut, dihitung dengan
memperbanyak
nilai untuk larutan 1% b/v
b = Turunya titik beku air yang dihasilkanoleh 1% b/v
bahan pembantu isotoni jika kosentrasi tidak dinyatakan, a=0 (titik ditambahkan pengisotonis)
METODE II :
Keterangan :
Tb
= turunya titik beku larutan terhadap pelarut murninya
K
= turunya titik beku pelarut dalam MOLAR (konstanta Kryoskopik air = 1,86 yang
menunjukan turunya titik beku 1 mol zat terlarut dalam 1000 g cairan)
m
= zat yang ditimbang (g)
n
= jumlah ion
M
= berta molekul zat terlarut
L
= massa pelarut (g)
b. ekivelensi NaCl
Didefinisikan sebagai suatu faktor yang dikonversikan terhadap sejumlah
tertentu zat terlarut terhadap jumlah NaCl yang memberikan efek osmotik yang
sama. Misalnya ekivalensi NaCl asam borat 0,55 berati 1 g asam borat di dalam
larutan memberikan jumlah partikel yang sama dengan 0,55g NaCl.
METODE WELLS:
Keterrangan :
L
= turunnya titik beku MOLOL
I
= turunnya titik beku akibat zat terlarut (0C)
C = kosentrasi
molal zat terlarut
Oleh karena itu zat aktif dengan tipe ionik yang sama dapat menyebabkan
turunya titik beku molal yang sama besar, maka Wells mengatsinya dengan
menggolongkan zat-zat tersebut menjadi beberapa kelompok sesuai dengan jumlah
ion yang dihasilkan. Lihat tabel III di repetitorium teknologi sediaan steril,
hal. 15.
c. metode Liso (Dikta Kuliah Steril, 166)
Rumus ∆Tf =
Lisox
d. Metode
White –Vincent (Diklat kuliah steril hal, 167)
Tonisitas yang diinginkan ditentukan dengan penambahan air pada sediaan
parenteral agar isotonis. Rumus yang dipakai :
V = w x E x 111,1
Dengan V = ekivelensi naCl
w = berat dalam garam
E = ekivalensi NaCl
Contoh
R/ Phenacaine hidroklorida 0,006 gr
Asam borat 0,30 gr
Aqua bidestilata steril ad 100 ml
Maka : v = ((0,06 x 0,20) + (0.3 x 0,050)) x 111,1 ml =
18 ml
Jadi obat dicampur dengan air sampai 18 ml. Lalu tambah
pelarut isotonis sampai 100 ml.
e. Metode
Sprowls (Dikta kuliah steril)
Menurut modifikasi dari metode White dan vincet, dimana w dibuat tetap 0,3 gram, jadi V = E x 33,33
ml
2.5.2 Kapasitas dapar
Kapasitas dapar adalah kemampuan tidak berubahnya pH dengan penambahan
sedikit asam atau sedikit basah.
Rumus : β =
= 2,303 C
Β = kapasitas dapar
αB = perubahan kosentrasi asam atau basah
αpH = perubahan ph
C = kosentrasi molar larutan dapar
Ka = konstanta disosiasi larutan dapar
Kapasitas dapar dapat dihitung dengan pesamaan Henderson-hasselbach
2.6 Glukoma
Glaukoma adalah penyakit pada saraf utama mata, yang
disebut saraf
optik. Saraf optik
menerima impuls saraf dari retina dan memancarkannya ke otak, di mana kita
mengubah sinyal-sinyal listrik itu sebagai gambar. Glaukoma ditandai oleh
kerusakan progresif pada saraf optik yang umumnya dimulai dengan kehilangan
penglihatan samping halus (peripheral vision). Jika glaukoma tidak
didiagnosis dan diobati maka dapat berkembang menjadi kehilangan penglihatan
sentral dan kebutaan.
Glaukoma tetapi tidak selalu, berhubungan dengan tekanan
tinggi di mata (tekanan intraokuler). Secara umum, tekanan mata tinggi ini
mengarah ke kerusakan saraf mata (saraf optik). Dalam beberapa kasus, glaukoma
dapat terjadi pada tekanan mata normal namun ada gangguan pengaturan aliran
darah ke saraf optik.
Belum ada obat untuk glaukoma. Namun, obat atau operasi
dapat memperlambat atau mencegah perkembangan kehilangan penglihatan.
Pengobatan yang tepat tergantung pada jenis glaukoma dan faktor-faktor lainnya.
Deteksi dini sangat penting untuk menghentikan perkembangan penyakit ini.
( http://kamuskesehatan.com/arti/glaukoma/)
2.7
Patofisiologi Glukoma
Peningkatan tekanan di dalam mata (intraocular pressure)
adalah salah satu penyebabterjadinya kerusakan saraf mata (nervus opticus) dan
menunjukkan adanya gangguan dengancairan di dalam mata yang terlalu berlebih.
Ini bisa disebabkan oleh mata yang memproduksicairan terlalu berlebih, cairan
tidak mengalir sebagaimana mestinya melalui fasilitas yang adauntuk keluar dari
mata (jaringan trabecular meshwork) atau sudut yang terbentuk antarakornea dan
iris dangkal atau tertutup sehingga menyumbat/ memblok pengaliran dari
pada cairan mata.
Gambar patofisiologi glukoma
Tidak ada komentar:
Posting Komentar